Rabu, 22 April 2009

Pesan sang Ibu :
Tatkala aku menyarungkan pedang
Dan bersimpuh di atas pangkuanmu,
Tertumpah rasa kerinduanku pada sang Ibu
Tangnnya yang halus mulus membelai kepalaku, bergetarlah seluruh jiwa ragaku
Musnahlah seluruh api semangat juangku
Namun sang Ibu berkata” Anakku sayang, apabila kakimu sudah melangkah di tengah padang, tancapkanlah kakimu dalam2 dan tetaplah terus bergumam sebab gumam adalah mantra dari dewa-dewa, gumam mengandung ribuan makna.”
“Apabila gumam sudah menyatu dengan jiwa raga, maka gumam akan berubah menjadi teriakan-teriakan. Yang nantinya akan berubah menjadi gelombang salju yang besar yang nantinya akan mampu merobohkan isrtana yang penuh kepalsuan gedung-gedung yang dihuni kaum munafik”
“Tatanan negeri ini sudah hancur Anakku”
“Dihancurkan oleh sang penguasa negeri ini
Mereja hanya bisa bersolek di depan kaca tapi membiarkannya punggungnya penuh noda dan penuh lendir hitan yang baunya kemana mana
Mereka selalu menyemprot kemaluannya denang parfum luar negeri
Di luar berbau wangi di dalam penuh dengan bakteri
Dan hebatnya sang penguasa negeri ini pandai bermaniin akrobat
Tubuhnya mampu dilipat-lipat yang akhirnya. pantat dan kemaluannya sendiri mampu dijilat-jilat
Anakku apabila pedang sudah dicabut janganlah surut janganlah bicara soal menang dan kalah, sebab menang dan kalah hanyalah mimpi-mimpi, mimpi-mimpi muncul dari sebuah keinginan,
Keinginan hanyalah sebuah khayalan , yang akan melahirkan harta dan kekuasaan.
Harta dan kekuasaan hanyalah balon-balon sabun yang terbang di udara
Anakku asahlah pedangmu, ajaklah mereka bertarung di tengah padang, lalu tusukkan pedangmu di tengah-tengah selangkangan mereka. Biarkan darah tertumpah di negeri ini”
Satukan gumammu menjadi revolusi!!!

Kalau rakyat bersembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

…………….

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alas an

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata : LAWAN”

(Peringatan_ Mencari tanah lapang)

Wiji bukan bercita-cita menjadi penyair, dia berfikir menulis puisi adalah sekedar menceritakan pengalaman hidupnya . Dia ingin bercerita, berteriak,supaya didengar.

Dia menulis puisi bukan untuk menjadi penayair, tapi dia kemudian manjadi penyair karena menulis puisi. (Arief Budiman-Wiji thukul penyair kampung)

Dia tidak pernah malu punya bapak yang penarik becak,kepada kekasihnya dia berpesan :

Jangan lupa kekasihku

Jika kau ditanya siapa mertuamu

Jawablah : yang menarik becak itu

Itu bapakmu kekasihku

(jangan lupa kekasihku_ Mencari tanah lapang)


Pulanglah nang

Jangan dolanan sama si kuncung

Sikuncung memang nakal nanti bajumu kotor lagi

Disirami air selokan

Pulanglah nang

Nanti kamu menangis lagi

Jangan dolanan sama anaknya pak kerto

Si bejo memang mbeling

Kukunya hitam panjang-panjang

Kalau makan tidak cuci tangan

Nanti kamu ketularan cacingan

………

Pulanglah nang

Jangan dolanan sama anaknya mbok sukiyem

Mbok sukiyem memang keterlaluan

Si Slamet sudah besar tapi belum disekolahkan

(Pulanglah Nang _ Mencari tanah lapang)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar